HOME   CATAGORI  

Tuesday, April 22, 2008

Profesionalisme Pendidikan

Bagaimana mungkin pendidikan bisa dilaksanakan tanpa ilmu: korupsi saja membutuhkan ilmu! Tapi begitulah adanya, ilmu pendidikan tersingkirkan menjadi ilmu yang mati suri. Ini sebuah kenyataan. Di mana-mana diterapkan pendidikan tanpa ilmu pendidikan.
Ambillah misalnya, ketika presiden menunjuk seseorang dari lapisan elit, tanpa pengalaman pendidikan, tanpa dasar ilmu pendidikan, tanpa “technical know-how”, bahkan tanpa kepedulian yang terfokus pada pendidikan, menjadi birokrat tertinggi dalam merumuskan kebijakan dan mengelola pendidikan secara nasional.
Pemerintah menugaskan mereka (sejumlah menteri pendidikan) dengan latar belakang, pengalaman, serta kepedulian dan afiliasi profesi yang sangat bervariasi (umumnya bersifat non-pendidikan) sebagai perumus kebijakan tertinggi di Depertemen Pendidikan Nasional. Diantara mereka ada yang datang sebagai jenderal berbintang, ada insinyur mesin, ada sejarawan ABRI, ada dari bidang keuangan, ada ekonom, ada sarjana hukum, ada dokter anak, ada dari partai politik, dan banyak lagi dengan latar belakang yang lain. Kecuali Ki Hajar Dewantara, tidak seorang pun dari mereka berasal dari bidang pendidikan. Ternyata, hanya dengan kesepakatan politis, atas nama ’profesionalisme’, praktis setiap orang bisa menjadi menteri pendidikan.
Ambillah lagi realitas lain, ketika kini sudah terdapat 440 pemerintah di tingkat kabupaten dan kota mengelola pendidikan daerah masing-masing, maka pejabat pendidikan yang paling bertanggung jawab di daerah itu adalah Kepala Dinas Pendidikan. Atau, pejabat tingkat lain yang senada dengan itu. Posisi Kepala Dinas tersebut sangat menentukan di dalam menghidupkan program desentralisasi pendidikan, sebuah proses demokratisasi yang tumbuh dari, oleh dan untuk masyarakat.
Tetapi tanpa mengurangi penghormatan kepada mereka, apakah yang dapat diharapkan dari seorang Kepala Dinas Pendidikan dengan latar belakang bukan pendidikan. Seperti misalnya, Kepala Dinas berasal dari Dinas Purbakala, Kehewanan, Retribusi Pasar, atau Pemakaman? Ketika pendidikan berbicara tentang kehidupan, apa kata mereka yang datang dari Dinas Pemakaman tentang persaingan di masa depan? Apa konsep pejabat yang datang dari Dinas Kehewanan tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi? Kenyataannya dengan latar belakang non pendidikan, mereka menduduki posisi sebagai pejabat pendidikan yang merumuskan dan menerapkan kebijakan pendidikan tanpa ilmu pendidikan, yang pasti akan berdampak pada kehidupan pendidikan di daerah.
Pendidikan tanpa Ilmu Pendidikan (Pentip) Merajalela. Bermacam-macam respon didapat apabila kita menanyai orang-orang awam atau setengah awam mengapa pentip dapat berkembang dan bertahan di tanah air. Di Indonesia, konstitusi mengamanahkan bahwa tugas pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Bergantung dari sudut mana orang melihatnya, jawaban mereka dapat dirangkum dalam salah satu atau dalam gabungan kategori berikut.
Pertama, penanganan problematik kependidikan bukanlah wilayah kekuasaan para pendidik saja, tetapi wilayah semua orang, tidak bergantung pada pengalamannya mengenai, pengetahuannya tentang, serta dedikasinya terhadap pendidikan. Karena itu tidak perlu dipermasalahkan ketika sebuah daerah kekurangan guru, lalu diangkat guru Kontrak, Guru (pem) Bantu, atau anggota ABRI yang dilatih untuk berperang tetapi ditugaskan untuk mengajar, yang pada dasarnya adalah popularitas sejenis guru pendidikan tanpa ilmu pendidikan (pentip).
Kedua, problematika tidak selalu memerlukan seorang pendidik profesional. Lagi pula, apa sih yang di sebut pendidik profesional. Dalam banyak hal di bidang pendidikan, seorang non-pendidik akan lebih sesuai untuk dipercayakan menanganinya. Biarlah guru-guru profesional menjalankan tugas mereka, tetapi berikan pula kepercayaan kepada mereka yang dari sudut pendidikan hanya berkemampuan pentip untuk berkarya. Orang dewasa dengan kemampuan bernalar yang rata-rata saja, yang sehat rohani dan jasmani, pada umumnya dapat menghadapi peserta didik, walaupun hanya dengan pentip. Pendidikan profesional harus ikhlas hidup dengan koeksistensi damai dengan pendidik pentip.
Ketiga, pendidik dengan latar belakang ilmu pendidikan, seperti yang diperoleh dari Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan (LPTK), umumnya adalah teoritisi yang tidak seberapa kompeten di dalam praktek kependidikan. Oleh karena itu penugasan mereka untuk mengelola pendidikan praktis mengandung resiko kegagalan yang tinggi. Waktu yang lama dan biaya tinggi yang digunakan untuk menghasilkan seorang guru dengan kompetensi ilmu dan metodologi keguruan, tidak sebanding dengan prestasi rata-rata mereka dilapangan. Lulusan LPTK bukan jaminan keberhasilan. Sebaliknya, pelatihan singkat dalam waktu 2-3 minggu, atau dalam 2-3 hari, atau dalam 2-3 jam, atau bahkan tanpa latihan, ternyata dapat menghasilkan tenaga pendidik dalam jumlah yang dibutuhkan.
Keempat, tidak tepat orang merisaukan adanya pentip. Apa yang diduga sebagai penyebab menurunnya pendidikan adalah faktor yang lain, bukan faktor pentip. Persoalan pendidikan tidak pernah bersumber dari tidak adanya ilmu pendidikan, tetapi justru karena terlalu banyak jenis ilmu, dan tidak ada diantaranya yang benar: atau karena ilmu itu terlalu kuno, atau karena ilmu itu terlalu jauh dari realitas. Karena itu, ilmu pendidikan yang ditawarkan sejauh ini tidak mempunyai relevansi terhadap persoalan yang hidup di lapangan. Daripada menerapkan ilmu yang tidak relevan itu, lebih baik menerepkan pentip. Apa yang dikhawatirkan sebagai ekses dari pentip ternyata tidak berdasar, dan hanya dibesar-besarkan.
Menghidupkan Profesionalisme Pendidikan Inti permasalahan yang kita hadapi sekarang yaitu mendidik tanpa satu perjuangan yang secara sadar diarahkan kepada peningkatan profesionalisme. Pentip bukan saja tidak profesional, tetapi anti profesional.
Istilah profesi dan profesionalisme saja sudah ditekuk, dipilin dan disalahkan sebegitu lama oleh masyarakat. Ingatkah ketika di Senayan, pada hari Guru yang lalu, pemerintah mencanangkan bahwa guru adalah sebuah profesi? bagaimana reaksi para guru dari berbagai penjuru angin hari dalam peringatan itu. Menyedihkan, kalau tidak memalukan. Jelas, ini menggambarkan belum ada komunikasi serasi antara guru dan pemerintah. Kalau ukuran profesionalisme adalah kenaikan tunjangan guru, maka itu adalah satu kesalahan fundamental di dalam cara berpikir siapapun.
Profesionalisme tidak ada kaitan langsung dengan kenaikan tunjangan.
Esensi permasalahan peningkatan profesionalisme pendidikan adalah masalah akuntabilitas pendidik. Jawabannya tidak pada pemerintah yang bersedia menaikkan gaji para guru. Tidak pada kesediaan pemerintah dan DPR untuk melahirkan sebuah Undang-Undang tentang guru. Tidak pada perumusan kode etik oleh PGRI. Tidak pada adanya penamaan ‘pendidik profesional’. Bahkan, tidak dengan keputusan pemerintah bahwa pendidikan adalah profesi dengan segala konsekuensinya. Kenaikan gaji itu baik, kode etik itu baik, penamaan pendidikan profesional itu baik. Tetapi sebaik bagaimanapun, itu semua adalah persoalan sekunder, tidak mencukupi untuk mewujudkan, menghidupkan, dan mengukuhkan akuntabilitas para pendidik.
Yang harus muncul di dalam pengukuhan akuntabilitas adalah kekuatan moral yang diwujudkan dan dihidupkan oleh para pendidik sendiri, tanpa sebutan profesional dan bukan dengan sebuah surat keputusan, serta bukan oleh siapapun diluar diri pendidik. Ini berarti para pendidik yang sejati harus berdiri diatas prinsip bahwa praksisi pendidikan mutlak memerlukan ilmu pendidikan [Ilmu Pendidikan yang bagaimana?]. Para pendidik harus memperjuangkan prinsip itu, prinsip bahwa tanpa ilmu pendidikan maka praksis pendidikan menjadi semu, menyesatkan, dan membahayakan bangsa. Itu saja masih belum cukup. Jangkauan pentip sudah terlalu jauh dan jelas bahwa kondisi ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut.
Di tanah air, sudah terlalu lama pendidikan dikelola dengan konsep non-pendidikan, seperti sebut saja hanya dengan logika pragmatis, logika bisnis, pertimbangan politik praktis, pendekatan otoriter, pengelolaan reaktif, trial and error, dan instan. Atas nama ‘pendidikan nasional’ kita mengorbankan hak pendidikan bangsa sesungguhnya. Hak kependidikan bukan saja berarti bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan gratis. Buat apa gratis kalau tidak bermutu !
Masanya sudah, para pendidik harus mempunyai keberanian berjuang demi menegakkan prinsip itu ke seluruh penjuru, ke setiap orang dalam setiap situasi. Kalau saja para pendidik dapat membuktikan dalam konsep dan praksis bahwa ilmu pendidikan adalah faktor pembeda yang harus diperjuangkan keberadaannya, karena faktor itu yang mampu membedakan antara pendidikan yang benar dan yang salah, antara yang baik dan yang buruk, antara yang semestinya dengan yang semu, antara yang mencerdaskan dengan yang membodohkan. Maka semakin kuat posisi pendidikan mutlak harus dibangun diatas ilmu pendidikan. Itulah perjuangan para pendidik dalam arti kata profesional yang sebenarnya!

No comments:

Custom Search