HOME   CATAGORI  

Wednesday, April 16, 2008

Menangkap Pesan peringatan 21 April

Dulu, di era 1990-an, kita sering mendengar ceramah K.H. Zainuddin MZ tentang emansipasi wanita. Dalam ceramah tersebut, beliau seringkali menyampaikan bahwa wanita di dalam Islam sesungguhnya tidak hanya berfungsi sebagai 3UR (Dapur, Sumur dan Kasur).

Dapur maksudnya, adalah seorang perempuan yang hanya bekerja di dapur –memasak— untuk keluarganya. Kemudian sumur diartikan sebagai tugas wanita adalah mencuci, dan kasur maksudnya menidurkan anak dan juga kebutuhan biologis suami.

Namun, rupanya konsep 3UR tersebut, jika dikorelasikan dengan tanggal 21 April, maka akan mengingatkan kita akan jasa-jasa seorang wanita yang bernama R.A. Kartini. Beliau adalah seorang putri yang kelak akan memperjuangkan wanita Indonesia, yang kemudian mampu mengubah emage masyarakat, bahwa wanita saat ini bukan saja manusia yang berkutat seputar dapur, sumur dan kasur saja, atau dalam bahasa ilmiahnya telah muncul ‘kesetaraan gender’. Walaupun sebenarnya konsep ini telah diwacanakan oleh Nabi Muhammad SAW sejak abad ke-7 yang lalu.

R.A Kartini yang dilahirkan 21 April 1879 di Moyang (Jepara) adalah seorang anak dari seorang Bupati Jepara (R.A.A Sosroningrat) yang cukup memperhatikan pendidikan anak-anaknya saat itu, khususnya pendidikan Barat. Namun demikian, setelah R.A Kartini menamatkan sekolah HIS (Holland Inlandse School), ia tidak lagi diberikan kesempatan untuk melanjutkan pada sekolah yang lebih tinggi, karena sejak umur 12 tahun ia menjadi gadis pingitan.

Ide kesetaraan gender awalnya muncul ketika beliau selama dalam pingitan, rajin membaca buku –karena memang buku adalah jendela dunia, gi tu loh…!. Karena rajin membaca buku itulah ahkirnya, ia melihat terjadi kepincangan terhadap kehidupan wanita di Indonesia dan wanita Eropa saat itu, khususnya di Jawa.

Melihat kepincangan dalam masyarakat serta perlakuan yang tidak adil itu, jiwa ‘membrontak’ muncul secara alami dalam diri Kartini. Dalam hatinya, hidup adalah kebebasan, mandiri, dan membebaskan wanita Indonesia dari ikatan adat istiadat yang sangat mengikat dan mengekang kreativitas. Hal ini, terlihat pada surat beliau yang dikirim kepada nona Zeehandelaer, 25 Mei 1989) yang berbunyi “….Dan adat kebiasaan negeri kami sungguh-sungguh bertentangan dengan kemauan zaman baru, zaman baru yang saya inginkan masuk ke dalam masyarakat kami…..”

Salah satu yang sangat diperjuangkan oleh RA Kartini adalah perbaikan kedudukan wanita yang tidak harus hanya ’mengabdi’ kepada suami saja, perempuan juga tidak hanya bertugas di dapur dan sumur saja akan tetapi harus memperoleh pendidkan (ilmu pengetahuan) sehingga ia juga dapat ‘bekerja’ sebagaimana apa yang dikerjakan oleh laki-laki.

Satu pesan sangat berharga dari RA Kartini adalah bahwa sesungguh hak memperoleh pendidikan (pengetahuan) melalui sekolah-sekolah baik yang dikelola oleh pemerintah Belanda maupun pribumi saat itu (awal abad ke-20), tidak kemudian ia harus disetarakan dengan laki-laki khususnya bidang-bidang pekerjaan yang akan ia geluti, akan tetapi ada yang lebih penting dari itu ialah bagaimana mendidik anak-anaknya yang kelak akan menjadi generasi penerus untuk memajukan dan mengangkat harkat dan martabat bangsa.

Inilah harapan RA Kartini saat itu, dan saat ini pun seharusnya demikian. Maksud saya adalah tampak gejala bahwa saat ini, seorang wanita yang berpendidikan tinggi baik S1 maupun S2 masih merasa ‘tidak berguna’ ketika di masyarakat ia hanya sebagai tukang jaga anak alias baby sitter dan melayani suami. Ini adalah pandangan yang keliru.
Seorang wanita yang berpendidikan tinggi yang kebetulan belum mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan melalui bidang atau keahlian yang ia miliki, namun ia kemudian tinggl di rumah mendidik anaknya dengan baik dan penuh kasih sayang, serta selalu mengamati perkembangan potensi dan kreativitasnya. Begitu pula dukungan penuh terhadap aktivitas suami di kantor, sekolah atau dimana saja, maka menurut saya inipun adalah sebuah pekerjaan yang sangat mulia.

Mari kita beranalogi sebentar. Bahwa kenakalan remaja semakin menjadi, pergaulan dan seks bebas, narkoba, dekadensi moral dan seterusnya adalah pemandangan sehari-hari yang memenuhi halaman berbagai media. Pertanyaannya adalah, dimanakah peran sang ibu saat itu. Saya khawatir, karena ‘kesibukan’ –dalam pekerjaan sehari-hari yang tidak akan pernah habis itu–orang tua lupa kewajiban utamanya, yaitu mendidik anak agar menjadi manusia yang sesungguhnya atau dalam bahasa ilmiahnya “memanusiakan manusia”.

Begitu pula dengan berita korupsi yang menimpa bangsa ini, yang dilakukan oleh mereka mulai yang berpendidikan sampai yang tidak ngerti sekolah, dan dari pejabat sampai masyarakat awam. Pertanyaan selanjutnya adalah dimanakah peran istri saat itu? Jangan-jangan para suami yang melakukan korupsi itu disebabkan karena adanya motivasi dan dorongan dari istri? Wallahu a’lam…!

Dua pertanyaan di atas cukup untuk membuat kita merenung sejenak, menatap bangsa ini, lalu berkesimpulan bahwa sesungguhnya peran ibu sangatlah penting dalam mengangkat derajat dan martabat bangsa ini yang semakin lama semakin terpuruk hampir dalam segala bidang kehidupan.
Oleh karena itu, sangat beralasan Rasulullah SAW menyampaikan kepada kita dengan santun bahwa begitu kedudukan wanita sangat menentukan bangsa ini, seperti bunyi sebuah hadistnya yang sangat populer “wanita adalah tiang negara” subehanallah, sungguh sangat mulia kedudukan wanita, namun sudahkah kita menghayati dan mengamalkannya?.

Penulis adalah Staf Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Kalimantan Selatan (dulu BPG) dan anggota KP EWA’MCo.

Sumber : elagustin.wordpress.com

No comments:

Custom Search